Eiffel, Aku Datang!

Cerpen Marlin Dwinastiti

Bismillaahirrahmaanirraahiim. Ayo, Asti! Semangat!”

Aku duduk bersila di atas karpet merah hati yang telah usang. Di hadapanku, laptop 14 inch siap menemaniku menuangkan ide-ide yang berebutan minta dikeluarkan. Kedua tanganku mengepal di udara. Aku mencoba menyemangati diriku sendiri. Sejurus kemudian, jemari tanganku asyik menari di atas keyboard laptop.

Simbah[1] tengah berzikir sambil menonton acara televisi kesayangannya. Sesekali ia menggerakkan kursi goyang. Di sampingku, Bulik[2] Endang dan Dhani, anak laki-lakinya, sudah terlelap selepas Isya’. Seluruh tubuh keduanya tertutup selimut tebal kecuali wajah. Maklum, rumah Bulik Endang hanya berjarak kurang lebih 9 km dari Gunung Merapi. Malam ini, masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Dingin.

Satu halaman, satu setengah halaman, dua halaman, tiba-tiba jemariku berhenti.

“Aduh! Ayo, Asti! Jangan berhenti! Ayo, ide! Keluar!” kataku sambil menepuk jidat berulang kali.

“Sedang apa, Ti?” tanya Bulik Endang. Matanya mengerjap-ngerjap. Ia jelas terganggu dengan suara nyaringku.

Aku menoleh.

“Ini, Bulik. Asti sedang membuat cerpen. Hadiahnya liburan ke Eropa.”

“Mimpiiiiiiiii!!!” jawab Bulik Endang.

Senyumku memudar. Respon Bulik Endang benar-benar cepat dan tidak terduga.

“Setiap orang boleh bermimpi, kan, Bulik? Kan gratis,” ujarku sembari memaksa bibirku mengulum senyum lagi.

“Boleh, tapi jangan terlalu tinggi! Nanti kecewa!”

Aku mengangguk. Malas berdebat dengan Bulik Endang. Tidak akan pernah ada habisnya jika aku meladeninya.

“Tapi, ya, terserah kamu saja, Ti. Kalau kamu bermimpi setinggi langit, ya, terserah. Kalau gagal, kan, kamu sendiri yang kecewa.”

Aku menghela napas.

Astaghfirullaahal’adziim. Astaghfirullaahal’adziim. Astaghfirullaahal’adziim.

“Kenapa diam saja, Ti?” tanya Bulik Endang.

Mmm… Maaf, Bulik. Asti sedang konsentrasi,” jawabku singkat.

“Ya sudah. Bulik sebagai pengganti orang tua kamu di sini sudah mengingatkan, ya. Besok-besok kalau kamu gagal terus kecewa jangan salahkan Bulik.”

Nggih, Bulik. Matur nuwun.[3]

Kalimat Bulik Endang membuat semangatku padam seketika. Aku menutup laptop, enggan melanjutkan. Rasa malas tiba-tiba menggelayutiku. Bulik Endang sudah memeluk anak semata wayangnya lagi.

* * *

“DHAAANIIIIIIIII!!!”

Aku yang sedang menyapu halaman nyengir. Pagi ini, masih sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Matahari belum juga menampakkan wujudnya tetapi Bulik Endang sudah meneriaki Dhani.

“Bawa saja televisinya ke kamar mandi!” teriaknya lagi.

* * *

Aku bisa bernapas lega sekarang. Dhani sudah berangkat ke sekolah 20 menit yang lalu. Tidak ada lagi teriakan Bulik Endang yang memekakkan telinga. Hanya aku dan Simbah di rumah. Bulik Endang segera ke sawah seusai mengantar Dhani. Ada tetangga yang memerlukan bantuannya untuk menanam padi.

Aku kembali berkutat dengan laptop.

“Pagi-pagi sudah pegang itu, Nduk[4]? Kuwi jenenge opo?[5]” tanya Simbah.

Aku mendongak.

“Laptop, Mbah. Komputer. Asti mau ikut lomba. Hadiahnya liburan ke Eropa, Mbah,” jawabku.

“Eropa ki opo, Nduk[6]?” tanya Simbah lagi.

Mmm… Eropa itu luar negeri, Mbah,” jawabku seadanya. Aku bingung bagaimana harus menjelaskannya.

Bongso walondo, Nduk[7]?”

Nggih, Mbah. Doain Asti nggih, Mbah.”

“Iya, Nduk. Mugo-mugo Gusti Allah maringi gampang.[8]

Amin. Matur nuwun, Mbah.”

* * *

Alhamdulillaah…”

“Hei, itu, kan, minumanku!” protes Rara, sahabat karibku.

“Maaf, Ra. Panas banget. Dari jauh es jerukmu melambai-lambai minta diminum.”

“Dasar! Dari mana?”

“Dari rumah. Kamu sudah lama di sini?”

“Lumayan.”

Aku mengedarkan pandangan. Siang ini, kantin kampus tampak lengang. Hanya terlihat beberapa mahasiswa yang tengah menikmati hidangan yang tersaji di hadapannya.

“Ra, coba baca cerpenku,” pintaku pada Rara.

“Mana?”

Aku menyodorkan laptop. Lima belas menit berlalu…

“Kurang, Ti.”

“Apanya yang kurang?”

“Banyak.”

Aku menghela napas. Kedua telingaku terasa panas mendengar kritiknya yang pedas.

“Cerpen ini untuk apa, Ti? Lomba lagi?” tanyanya kemudian.

“Iya, Ra. Hadiahnya liburan ke Eropa,” jawabku dengan antusias.

Huahahahaha, ke Eropa dengan menulis cerpen? Mana mungkin?”

Aku dan Rara mencari-cari sumber suara. Via berdiri tak jauh dari meja kami.

Memangnya kenapa, Vi? Ada masalah?” tanya Rara.

“Asti! Realistis sedikit dong! Sudah berapa banyak lomba cerpen yang kamu ikuti? Mulai dari yang hadiahnya hanya voucher pulsa, antologi buku, uang tunai, sampai liburan ke luar kota saja kamu tidak pernah menang! Apalagi hadiahnya liburan ke Eropa! Mimpiiiiiiiii!!!”

Aku terdiam. Rara sudah siap membalas, namun cubitanku yang mendarat di lengan kirinya membuat ia mengurungkan niatnya. Via tampak puas. Senyum sinis tersungging di bibirnya.

* * *

“Ucapan Via tadi ada benarnya, Ra,” kataku saat kami meninggalkan kantin.

“Jangan bilang kamu akan menyerah, Ti. Kamu tidak akan melakukannya, kan?”

Aku menggeleng.

“Aku tidak tahu, Ra. Kamu tahu, kan, aku sudah beberapa kali ikut lomba cerpen tetapi tak satupun menang. Jangan-jangan aku memang tidak ditakdirkan untuk menjadi penulis.”

“Ti, aku tahu kamu suka menulis. Aku tahu passion kamu di sana. Dan, aku tahu persis kamu sangat ingin ke Prancis, kan? Kamu ingin melihat Menara Eiffel. Sekarang kamu akan menyerah hanya karena ucapan Via?”

“Bukan hanya Via, Ra.”

“Siapa lagi?”

“Bulik Endang.”

Oke-oke! Dua orang itu mungkin sudah meragukan kemampuanmu, tetapi apa kamu akan membiarkan mereka tertawa senang karena kamu gagal? Kalau bulikmu, aku tidak tahu apa alasan beliau meremehkanmu. Tetapi, kalau Via yang meremehkanmu, dari dulu, kan, Via sirik karena IP kita lebih tinggi dari IP-nya.”

Rara benar. Aku tidak ingin Bulik Endang dan Via menertawakan kegagalanku. Semangatku kembali membara. Tiba-tiba aku teringat tenggat waktu yang diberikan panitia lomba. Masih dua minggu lagi. Aku masih memiliki waktu untuk memperbaikinya.

* * *

Bismillahirrahmaanirrahiim.”

Aku meng-klik tombol Send.

Ya Allah, aku sudah memaksimalkan usahaku. Kini, aku mohon bantuan-Mu, Ya Rabb. Mudahkanlah urusanku. Wujudkanlah impianku. Semoga Engkau berkenan memberiku kabar gembira satu bulan lagi. Amin.”

* * *

Berulang kali aku mengucek kedua mataku. Aku nyaris meragukan penglihatanku.

“Ra…” panggilku.

Hmmm…” Rara tidak bergeming.

“Aku tidak sedang bermimpi, kan, Ra?”

“Tentu saja tidak!” sahut Rara cepat.

“Bisa cubit pipiku?” tanyaku.

“Dengan senang hati!” katanya sambil tertawa.

“Aduh! Sakit! Sudah! Aduh! Sudah!”

“Ada apa sih, Ti?” tanyanya. Penasaran, ia mengambil alih laptopku.

Mata Rara terbelalak, dan ia seketika berteriak, “Astiiiiiiiii!!! Eiffel, Ti! Eiffel! Impianmu terwujud!”

Alhamdulillahirabbil’alamiin…”

Aku memeluk Rara dan berbisik, “Terima kasih, Ra. Terima kasih.”

* * *

Mataku berkaca-kaca. Di hadapanku kini menjulang icon kota Paris yang terkenal di seluruh dunia, Menara Eiffel. Aku meninggalkan kata-kata yang menyakitkan dan meremehkanku di sana, di kota yang berjarak ribuan kilometer jauhnya dari tempatku berdiri sekarang.

Aku merentangkan tanganku. Aku ingin berlari. Melawan angin yang berhembus kencang di Paris. Berlari sekencang-kencangnya.

“EIFFEEEEEEEEELLL, AKU DATAAAAAAAAANNNGGG!”

* * *


[1] Nenek

[2] Tante

[3] Ya, Bulik. Terima kasih.

[4] Sapaan untuk anak perempuan.

[5] Itu namanya apa?

[6] Eropa itu apa, Nak?

[7] Bangsa Belanda, Nak?

[8] Mudah-mudahan Gusti Allah memberi kemudahan.

(Calon) Guru Pembekalan PPL Dulu…

26 Juni 2013

Bismillahirrahmaanirrahiim

Dengan jilbab hitam, atasan putih, bawahan hitam, dan sepatu pantofel hitam yang masih kinclong (karena baru), aku melangkahkan kakiku dengan mantap menuju Ruang Auditorium Kampus 2 UAD yang terletak di lantai 4. Alamak! Aku sudah terlambat dan sialnya aku tidak bisa mempercepat langkahku. Sepatu yang memiliki hak sekitar 3 cm ini benar-benar menyiksaku! Jangankan berlari, untuk berjalan saja aku susah payah. Mohon maklum, aku tidak terbiasa memakai sepatu yang tinggi-tinggi. Sepatu keds saja sudah cukup untuk menemaniku kuliah. Tetapi berhubung sepatu keds-ku rusak, aku harus pasrah memakai flat shoes. 😦

Sepatu yang akan menemaniku PPL.

Sepatu yang akan menemaniku PPL.

Lupakan masalah sepatu. Aku akan belajar bagaimana cara menggunakan sepatu itu dengan baik dan benar.

Nah! Hari ini, aku dan sebagian mahasiswa FKIP lainnya mengikuti Pembekalan PPL. Mengapa aku menyebut sebagian? Karena sebagian yang lainnya akan mengikuti Pembekalan PPL besok. Dalam Pembekalan PPL, kami dibekali dengan nasihat-nasihat dan apa-apa yang harus dilakukan serta apa-apa yang tidak seharusnya dilakukan.

Aku akhirnya bertemu dengan teman-teman dari prodi lain yang juga ditempatkan di SMPN 1 Kretek. Alhamdulillah, akhirnya aku sudah benar-benar fix ditempatkan di sana. Ada Eka Ristiyani dan Fitriana Arum Sari dari Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ada Apsus Grumilah dan Syam Ashari dari Pendidikan Bahasa Inggris–sama denganku. Ada Muhammad Ariestoteles Yugo Utomo dan Muhammad Rian Al-Fath dari Pendidikan Biologi. Ada Lukman Prastomo dari Pendidikan Kewarganegaraan. Ada Arvi Budiarto, Bangkit Widayanti, dan Taufiq Abrari dari Pendidikan Matematika.

Tak kenal maka ta’aruf. Kami pun mulai memperkenalkan diri kami. Karena belum cukup akrab, kami pun masih canggung satu sama lain, dan kami tidak berfoto bersama. 😦 Finally aku malah foto bersama teman-teman sekelasku. 😀

Kami siap PPL!

Semester 6 telah berakhir. I’m getting older. Tak terasa, langkahku sudah sejauh ini. Aku harus bisa! Aku harus melawan rasa takut yang selalu menghantui diriku sendiri! I have to be strong! Everyone may underestimate me in teaching, but not myself! I believe in myself! Anyway, thank you for any judgements you’ve given to me. They brought me down yesterday, but not for today, tomorrow, and so on! I’ll show you that your judgements do not mean anything to me. However, thank you so much. I am STRONGER now. Yeay!!! \m/ KEEP LONG FIGHTING!!! \(^o^)/

Jangan Biarkan Aku Menunggu

Cerpen Marlin Dwinastiti

Kriiiiinngg…kriiiiinngg…kriiiiinngg!!!

Pagi ini, masih sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Tepat pukul 04.30, jam beker kotak berwarna hitam kembali menghentikan mimpi Aini. Gadis itu menggeliat. Tangannya meraba-raba meja belajar mungil di samping tempat tidurnya. Tak sampai satu menit tangannya mencari, suara jam beker yang berisik telah hilang. Kini hanya meninggalkan suara air hujan yang terus mengguyur tanah sejak semalam. Udara dingin serta-merta membuat bulu kuduk Aini berdiri begitu ia membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Ingin sekali rasanya ia menarik selimutnya lagi, kembali merajut mimpi ditemani hujan. Tetapi adzan Shubuh yang berkumandang segera mematahkan keinginannya.

Hoaaammmhhh…” Aini menguap lebar. Tangannya sibuk mengucek kedua matanya yang masih lengket. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya, hendak menyalakan lampu. Sial! Listrik masih padam. Tadi malam ia terpaksa tidur lebih awal karena tak ada yang bisa ia lakukan dalam kegelapan. Aini mendengus kesal.

Dddrrrttttttttt…Dddrrrttttttttt…

Tiba-tiba telepon genggam Aini bergetar dengan cukup keras di atas meja.

Siapa yang menelepon Shubuh-Shubuh begini? tanya Aini dalam hati.

Aini meraih telepon genggamnya dan seketika kedua matanya melotot.

Mas Satya?

Assalaamu’alaikum…”

Wa’alaikumsalam. Aini? Aini sudah bangun?” jawab suara di seberang.

“Ya, Mas. Ada apa telepon Aini Shubuh-Shubuh begini?” tanya Aini.

“Aini belum berubah, ya.”

“Maksudnya?”

“Iya. Jam segini Aini pasti sudah bangun.”

“Maaf, Mas. Ada perlu apa, ya, Mas Satya telepon Aini?”

“Mas Satya cuma mau tanya satu hal.”

“Apa?”

“Aini masih mencintai Mas Satya?”

Jantung Aini tiba-tiba berdegup kencang ketika mendengar pertanyaan Satya.

“Ya,” jawabnya mantap.

“Masih adakah kesempatan untuk Mas Satya?”

* * *

“Aku Satya.”

Aini menoleh. Ia tidak segera menyambut uluran tangan Satya.

“Aku Satya,” kata Satya lagi.

“Aini,” jawab Aini. Ia menangkupkan kedua tangannya di depan dada, mengabaikan uluran tangan Satya.

Satya menarik kembali tangannya yang menggantung di udara. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Akhirnya, setelah tujuh hari Satya hanya berani mencuri-curi pandang wajah Aini yang meneduhkan, hari ini ia berani menyapanya.

Jadi, namanya Aini? kata Satya dalam hati. Senyum di bibirnya terus mengembang.

“Mas, itu bus nomor 12 sudah datang,” kata Aini.

“Eh…eh… Sa…saya tidak naik bus itu,” balas Satya.

Aini mengernyitkan dahi tidak mengerti.

Lho… Bukannya Mas selalu naik bus itu, ya?”

“Eh…eh… I…ya. Maksud saya, saya hari ini tidak naik bus nomor 12, saya ada perlu di tempat lain.”

“Oh, kalau begitu saya duluan, Mas. Mari. Assalaamu’alaikum.”

Wa…wa’alaikumsalamwarahmatullahiwabarakatuh.”

Aini segera bergegas naik ke bus nomor 12, bus yang akan mengantarnya ke sebuah sekolah dasar di pinggir kota.

Satya, namanya Satya… gumam Aini. Senyum merekah di bibirnya. Ia merasakan panas di kedua pipinya. Ia yakin pipinya kini tengah merah merona.

Setelah bus yang membawa Aini menghilang di tikungan jalan, Satya segera meraih Kawasaki yang diparkir tidak jauh dari halte bus. Misi hari ini selesai. Ia sudah tahu nama gadis yang mencuri perhatiannya sejak satu minggu yang lalu. Ia tidak perlu lagi mengikuti Aini seperti yang telah ia lakukan sebelumnya.

* * *

Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan berlalu sejak perkenalan Aini dan Satya di halte bus. Hingga suatu hari…

“Aini, mau tidak Aini menjadi kekasih hati Mas Satya?”

Aini diam. Ia mencintai Satya, dan ia yakin Satya juga mencintainya.

“Mas Satya mencintai Aini?”

“Tentu saja, Aini. Mas Satya sangat mencintai Aini.”

“Kalau Mas Satya mencintai Aini, mengapa Mas Satya hanya menginginkan Aini menjadi kekasih hati Mas Satya?”

“Maksud Aini?”

“Mengapa Mas Satya tidak melamar Aini saja?”

Satya terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

“Mas, kita sudah cukup dewasa, bukan?”

Satya masih terdiam.

“Aini, Mas Satya harus pergi sekarang.”

“Mas, pembicaraan kita belum selesai, bukan?”

“Kita bisa membahasnya lain waktu.”

“Mas…”

“Aini, Mas Satya mencintaimu, tetapi…”

“Tetapi apa, Mas? Bukankah cinta tidak pernah mengenal kata ‘tetapi’?”

“Aini, tolong mengerti Mas Satya. Menikah tidak semudah yang kita bayangkan. Mas Satya harus mempersiapkan banyak hal.”

“Sampai kapan?”

“Mas Satya tidak tahu.”

Satya merogoh kunci Kawasaki di saku celananya dan segera melesat dari hadapan Aini, meninggalkan Aini yang kebingungan.

* * *

“Aini? Aini masih di sana?”

“Ya, Mas. Aini masih di sini.”

“Masihkah ada kesempatan untuk Mas Satya?”

“Aini rasa tidak, Mas.”

“…”

“Maaf, Mas. Aini belum sholat. Assalaamu’alaikum.”

Aini tergugu. Ia menyesal dengan jawabannya, tetapi ia tidak mungkin melawan takdir. Tiga tahun lamanya ia menunggu dalam ketidakpastian. Ia menunggu Satya yang tak kunjung datang menemui orang tuanya untuk melamarnya. Abah yang lelah melihat putri bungsunya terus menunggu dalam ketidakpastian akhirnya memilihkan calon untuknya. Dan, ia tak mungkin melawan Abah, orang yang sangat dicintainya. Ia tidak punya pilihan lain, ia harus melepas Satya, cinta pertamanya.

One Day Trip to Kotagede

Oleh: Marlin Dwinastiti

Apa yang ada di benak Anda ketika Anda mendengar kata Yogyakarta? Sebutan Kota Gudeg dan Kota Pelajar mungkin yang pertama kali Anda pikirkan. Lalu, tempat wisata apa yang akan Anda kunjungi di Yogyakarta? Kaliurang dan Candi Prambanan bisa jadi ada dalam daftar yang wajib Anda kunjungi ketika berwisata di kota ini. Tetapi, tahukah Anda bahwa Yogyakarta tidak hanya melulu tentang Kaliurang dan Candi Prambanan?

Kali ini kita akan mencoba menjelajah salah satu kawasan yang dulunya adalah kerajaan Mataram. Kotagede! Tidak perlu mengeluarkan ongkos yang cukup besar untuk menjelajahi Kotagede. Pasalnya, kita akan lebih nyaman untuk mengeksplorasi keunikan Kotagede dengan berjalan kaki. And, here we go….

Dalem Sopingen

Kita bisa mulai menjelajah Kotagede dari sini, Dalem Sopingen. Sopingen adalah rumah kediaman Raden Amatdalem Sopingi. Bersama Raden Amatdalem Mustahal, beliau menjabat sebagai kepala lurah juru kunci makam di bawah Kasultanan Yogyakarta. Raden Amatdalem Sopingi juga menyediakan rumahnya sebagai tempat singgah bagi pejabat kerajaan yang akan berziarah ke Makam Raja-raja Mataram di Kotagede. Di era 1900-1980 pendapa Sopingen pernah menjadi pusat ruang publik egaliter di Kotagede. Tokoh-tokoh kebangkitan nasional seperti HOS Cokroaminoto (Ketua Sarekat Islam), Samanhoedi (Pendiri Sarekat Islam), KH Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), dan Ki Hajar Dewantoro (Pemimpin Perguruan Tamansiswa) – bahkan pimpinan komunis seperti Samaun, Muso, dan Alimin – pernah berpidato di pendapa Dalem Sopingen. Dalem Sopingen terdiri dari pendapa, dalem, gandhok kiwo dan tengen, gadri pada bagian belakang, serta mushola di depan barat daya. Atap pendapa Sopingen bersusun tiga, disebut Joglo Pangrawit. Sayang, pada awal tahun 2000-an pendapa Sopingen dijual dan hanya menyisakan lantainya saja.

Tampak depan Dalem Sopingen.

Tampak depan Dalem Sopingen.

Dari Dalem Sopingen, kita lanjut ke Pasar Legi atau biasa juga disebut Pasar Kotagede.

Suasana Pasar Legi.

Suasana Pasar Legi.

Untuk Anda yang menyukai, mengoleksi atau sekadar ingin melihat-lihat berbagai macam unggas yang dijual, bisa datang ke pasar ini ketika kalender Jawa menunjukkan tanggalan legi.

Burung-burung cantik ini dijual di Pasar Kotagede setiap kalender Jawa menunjukkan tanggalan legi.

Burung-burung cantik ini dijual di Pasar Kotagede setiap kalender Jawa menunjukkan tanggalan legi.

Jika Depok memiliki Masjid Kubah Emas, maka Kotagede memiliki Masjid Perak.

Masjid Perak

Masjid Perak

Masjid yang merupakan masjid kedua setelah Masjid Gedhe ini terletak di Jalan Mandarakan, Prenggan (sekarang berada dalam kompleks SMA Muhammadiyah). Masjid ini didirikan pada tahun 1937 oleh Kyai Amir dan H. Masyhudi. Masjid Perak ditujukan untuk mewadahi pertumbuhan umat Islam yang berkembang pesat di Kotagede sejak 1910 dengan hadirnya organisasi Muhammadiyah. Penamaan Masjid Perak mempresentasikan kekuatan kerajinan perak di Kotagede saat itu, tetapi juga membawa spirit religius tertentu.

Bagian dalam Masjid Perak.

Bagian dalam Masjid Perak.

Tentu tidak afdol rasanya jika berwisata ke suatu daerah tanpa mencicipi makanan khas daerah tersebut. Sembari berwisata ke Kotagede, kita bisa mencicipi makanan khas Kotagede yang terbuat dari tepung ketan, parutan kelapa, dan gula merah. Kipo, demikian orang-orang menyebutnya. Kipo berasal dari kata iki opo, yang berarti ini apa. Kipo bisa dengan mudah ditemukan di sepanjang jalan di kawasan Kotagede. Satu bungkus biasanya berisi 5 buah kipo yang cukup mungil, harganya Rp 1.300,- saja. Cukup murah, bukan?

Kue kipo, kue khas Kotagede.

Kue kipo, kue khas Kotagede.

Kenyang dengan makan kipo, kita beranjak ke salah satu keunikan yang ada di Kotagede, yakni Between Two Gates. Di kampung Alun-alun, Purbayan, terdapat sebuah lingkungan permukiman yang terdiri dari sembilan rumah joglo. Ruang antara pendapa dan dalem rumah-rumah joglo tersebut sambung-menyambung membentuk gang. Gang ini sebenarnya adalah ruang milik pribadi, namun boleh dilewati umum. Ini merupakan salah satu bentuk kerukunan antarwarga, karena itulah orang kemudian menyebutnya dalan rukunan. Disebut demikian karena gang tersebut diapit oleh gerbang pada kedua ujungnya, maka lingkungan ini juga dikenal dengan istilah Between Two Gates (antara dua gerbang). Istilah Between Two Gates sebenarnya merupakan ungkapan baru yang dimunculkan pada tahun 1986 oleh tim peneliti arsitektur, yang kemudian menjadi populer di kalangan masyarakat.

Between Two Gates

Between Two Gates

Puas mengitari “labirin” Kotagede, kita bisa juga melihat cara pembuatan coklat di Pabrik Coklat Monggo, gratis. Kita cukup datang pada hari dan jam kerja, yakni hari Senin sampai Sabtu pada pukul 08.00-15.00. Di sini kita bisa melihat bagaimana buah coklat diolah menjadi makanan yang enak dan lezat. Jangan lupa membeli coklat untuk sanak saudara, ya!

The Summary of Nathaniel Hawthorne’s The Scarlet Letter

In June 1642, in the Puritan town of Boston, a crowd gathers to witness an official punishment. A young woman, Hester Prynne, has been found guilty of adultery and must wear a scarlet A on her dress as a sign of shame. Furthermore, she must stand on the scaffold for three hours, exposed to public humiliation. As Hester approaches the scaffold, many of the women in the crowd are angered by her beauty and quiet dignity. When demanded and cajoled to name the father of her child, Hester refuses.

As Hester looks out over the crowd, she notices a small, misshapen man and recognizes him as her long-lost husband, who has been presumed lost at sea. When the husband sees Hester’s shame, he asks a man in the crowd about her and is told the story of his wife’s adultery. He angrily exclaims that the child’s father, the partner in the adulterous act, should also be punished and vows to find the man. He chooses a new name — Roger Chillingworth — to aid him in his plan.

Reverend John Wilson and the minister of her church, Arthur Dimmesdale, question Hester, but she refuses to name her lover. After she returns to her prison cell, the jailer brings in Roger Chillingworth, a physician, to calm Hester and her child with his roots and herbs. Dismissing the jailer, Chillingworth first treats Pearl, Hester’s baby, and then demands to know the name of the child’s father. When Hester refuses, he insists that she never reveal that he is her husband. If she ever does so, he warns her, he will destroy the child’s father. Hester agrees to Chillingworth’s terms even though she suspects she will regret it.

Following her release from prison, Hester settles in a cottage at the edge of town and earns a meager living with her needlework. She lives a quiet, somber life with her daughter, Pearl. She is troubled by her daughter’s unusual character. As an infant, Pearl is fascinated by the scarlet A. As she grows older, Pearl becomes capricious and unruly. Her conduct starts rumors, and, not surprisingly, the church members suggest Pearl be taken away from Hester.

Hester, hearing the rumors that she may lose Pearl, goes to speak to Governor Bellingham. With him are Reverends Wilson and Dimmesdale. When Wilson questions Pearl about her catechism, she refuses to answer, even though she knows the correct response, thus jeopardizing her guardianship. Hester appeals to Reverend Dimmesdale in desperation, and the minister persuades the governor to let Pearl remain in Hester’s care.

Because Reverend Dimmesdale’s health has begun to fail, the townspeople are happy to have Chillingworth, a newly arrived physician, take up lodgings with their beloved minister. Being in such close contact with Dimmesdale, Chillingworth begins to suspect that the minister’s illness is the result of some unconfessed guilt. He applies psychological pressure to the minister because he suspects Dimmesdale to be Pearl’s father. One evening, pulling the sleeping Dimmesdale’s vestment aside, Chillingworth sees something startling on the sleeping minister’s pale chest: a scarlet A.

Tormented by his guilty conscience, Dimmesdale goes to the square where Hester was punished years earlier. Climbing the scaffold, he sees Hester and Pearl and calls to them to join him. He admits his guilt to them but cannot find the courage to do so publicly. Suddenly Dimmesdale sees a meteor forming what appears to be a gigantic A in the sky; simultaneously, Pearl points toward the shadowy figure of Roger Chillingworth. Hester, shocked by Dimmesdale’s deterioration, decides to obtain a release from her vow of silence to her husband. In her discussion of this with Chillingworth, she tells him his obsession with revenge must be stopped in order to save his own soul.

Several days later, Hester meets Dimmesdale in the forest, where she removes the scarlet letter from her dress and identifies her husband and his desire for revenge. In this conversation, she convinces Dimmesdale to leave Boston in secret on a ship to Europe where they can start life anew. Renewed by this plan, the minister seems to gain new energy. Pearl, however, refuses to acknowledge either of them until Hester replaces her symbol of shame on her dress.

Returning to town, Dimmesdale loses heart in their plan: He has become a changed man and knows he is dying. Meanwhile, Hester is informed by the captain of the ship on which she arranged passage that Roger Chillingworth will also be a passenger.

On Election Day, Dimmesdale gives what is declared to be one of his most inspired sermons. But as the procession leaves the church, Dimmesdale stumbles and almost falls. Seeing Hester and Pearl in the crowd watching the parade, he climbs upon the scaffold and confesses his sin, dying in Hester’s arms. Later, witnesses swear that they saw a stigma in the form of a scarlet A upon his chest. Chillingworth, losing his revenge, dies shortly thereafter and leaves Pearl a great deal of money, enabling her to go to Europe with her mother and make a wealthy marriage.

Several years later, Hester returns to Boston, resumes wearing the scarlet letter, and becomes a person to whom other women turn for solace. When she dies, she is buried near the grave of Dimmesdale, and they share a simple slate tombstone with a scarlet A.

 

 

Electronic Source:

http://en.wikipedia.org/wiki/The_Scarlet_Letter (Taken on Tuesday, June 18, 2013 at 08.44.)

Kultum: Pakaian Istimewa untuk Muslimah Istimewa

Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَعَلَى أله وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ

Segala puji bagi Allah, teriring doa dan keselamatan semoga terlimpah atas Nabi dan Rasul termulia, juga atas keluarga dan para sahabat, serta kepada yang mengikuti mereka dalam kebenaran sampai hari kiamat.

Saudari-saudari Muslimah yang saya cintai…

Islam merupakan agama yang sempurna. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada satu pun hal yang luput dari aturan-aturan Islam, termasuk hal yang paling sederhana dan seringkali dianggap sepele bahkan dilupakan, yakni tata cara berpakaian untuk Muslimah.

Saudari-saudariku…

Menutup seluruh aurat kecuali muka dan kedua tangan merupakan kewajiban kita sebagai Muslimah. Allah telah menunjukkan rasa cinta-Nya kepada kita dengan memerintahkan kita untuk menutup aurat yaitu melalui salah satu firman-Nya dalam Q.S. Al-Ahzab 33: 59:

يٰۤـاَيُّهَا النَّبِىُّ قُلْ لِّاَزۡوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَآءِ الۡمُؤۡمِنِيۡنَ يُدۡنِيۡنَ عَلَيۡهِنَّ مِنۡ جَلَابِيۡبِهِنَّ ؕ ذٰ لِكَ اَدۡنٰٓى اَنۡ يُّعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَ ؕ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوۡرًا رَّحِيۡمًا‏

“Wahai, Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Ayat ini telah dengan gamblang menjelaskan bahwa Allah menginginkan seluruh Muslimah selamat di dunia dan di akhirat. Ada berapa banyak kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, dan tindak kejahatan lainnya yang melibatkan wanita sebagai korban? Banyak. Ada ribuan bahkan jutaan kasus di seluruh dunia. Namun, tentu saja tidak ada asap jika tidak ada api. Kasus-kasus tersebut terjadi karena wanita tidak mampu menjaga auratnya. Para wanita tidak mengenakan pakaian sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah sehingga para lelaki dengan mudah tergoda syahwat. Na’udzubillah.

Saudari-saudariku…

Pada suatu hari Rasulullah berkata kepada putri kesayangannya, Fatimah Az-Zahra, “Wahai anakku, Fatimah! Adapun perempuan-perempuan yang akan digantung rambutnya hingga mendidih otaknya dalam neraka adalah mereka itu di dunia tidak mau menutup rambutnya daripada dilihat laki-laki yang bukan mahramnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Saudari-saudariku…

Allah memerintahkan kita untuk menutup aurat rapat-rapat bukan berarti Allah ingin membatasi gerak-gerik kita. Tidak demikian. Justru dengan mengenakan pakaian istimewa yang telah diperintahkan oleh Allah, kita akan menjadi Muslimah yang istimewa pula. Inilah cara Allah memuliakan kita.

Saudari-saudariku…

Marilah kita bersama-sama menjadi Muslimah yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya. Marilah kita bersama-sama mencapai surga yang dijanjikan Allah untuk orang-orang yang bertaqwa, yakni orang-orang yang melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Marilah kita bersama-sama saling berlomba-lomba dalam kebaikan dan saling mengingatkan serta menasehati dalam kebaikan pula.

Saudari-saudariku…

Tak ada gading yang tak retak. Demikian yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini. Saya mohon maaf atas kesalahan dan kekurangan dalam penyampaian kultum kali ini. Kesalahan dan kekurangan berasal dari diri saya pribadi, kesempurnaan hanya milik Allah semata.

Wabillahittaufiqwalhidayah. Wassalaamu’alaaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

Mengitari “Labirin” Kotagede

16 Juni 2013

Karena aku bisa jalan-jalan sekaligus mengerjakan tugas. That’s why I love Journalism Class. Yap! Dimana lagi aku bisa mengerjakan tugas sekalian jalan-jalan selain di kelas Jurnalis? 😀

Daaaaaaaaannn!!! Hari ini, Mas Anjar dan Mba Novia siap menjadi tour guide-ku di Kotagede. Tidak hanya kami bertiga, tentu saja ada Mas Faisal! 😀

Maka, berangkatlah aku ke kos Mba Novia pagi-pagi sekali (bohong!). Maksudku, aku ke sana sekitar pukul 07.30. Dan, di sana aku menemukan Mas Anjar sudah duduk manis. Aku telat! 😦

Tak lama kemudian, Mas Faisal (yang katanya fitness dulu) pun datang. Meluncurlah kami mulai menjelajahi Kotagede dengan………JALAN KAKI! Ya, jalan kaki. Biar tidak berat di ongkos. 😀

Hasil liputanku tentang Kotagede bisa dibaca di sini.

Anyway, selain Dalem Sopingen, Pasar Legi atau Pasar Kotagede, Masjid Perak, kami juga mengunjungi Masjid Gedhe Mataram, Warung Sido Semi dan Coklat Monggo. Tak banyak cerita dalam perjalananku kali ini. Terlebih, aku harus fokus untuk mencari sisi unik Kotagede agar laporan feature-ku bisa diterima oleh Bapak Sucipto, M.Pd., B.I., dosenku.

Dalem Sopingen

Dalem Sopingen

Pasar Legi atau Pasar Kotagede

Pasar Legi atau Pasar Kotagede

Romantisnya kedua burung cantik ini.

Romantisnya kedua burung cantik ini.

Mimbar di dalam Masjid Perak.

Mimbar di dalam Masjid Perak.

"Tangga menuju surga."

“Tangga menuju surga.”

Narsis dulu.

Narsis dulu.

ki-ka: Mba Novia, Mas Faisal, Mas Anjar

Cheese!

Cheese!

ki-ka: Mas Faisal, Alin, Mas Anjar

ki-ka: Mas Faisal, Alin, Mas Anjar

ki-ka: Mas Faisal, Mas Anjar

ki-ka: Mas Faisal, Mas Anjar

ki-ka: Mas Faisal, Mba Novia, Alin

ki-ka: Mas Faisal, Mba Novia, Alin

Masjid Perak

Masjid Perak

Ibu Amanah, salah satu pembuat dan penjual Kipo.

Ibu Amanah, salah satu pembuat dan penjual Kipo.

Salah satu bagian dari Rumah Pesik.

Salah satu bagian dari Rumah Pesik.

Rumah Pesik

Rumah Pesik

Tampak depan Masjid Gedhe Mataram.

Tampak depan Masjid Gedhe Mataram.

Pintu masuk Masjid Gedhe Mataram (foto dari dalam).

Pintu masuk Masjid Gedhe Mataram (foto dari dalam).

Warung Sido Semi

Harga minuman di Warung Sido Semi tempo doeloe.

Harga minuman di Warung Sido Semi tempo doeloe.

Between Two Gates

Colorful wall.

Colorful wall.

Buah coklat di Coklat Monggo.

My 3J Trip

Mei 2013

Tiga kali aku merencanakan pulang ke Jepara, dan ketiga kalinya gagal. Rencana pertama dan kedua gagal dikarenakan aku harus mengikuti kuliah pengganti–dan ternyata semuanya di-cancel. Capek deh! Rencana yang ketiga gagal karena Ibuk memberiku 2 pilihan. Pilihan pertama: jika aku pulang bulan ini, maka aku tidak ikut Ibuk ke Jakarta bulan depan. Pilihan kedua: jika aku tidak pulang bulan ini, maka aku ikut Ibuk ke Jakarta. And finally, aku memilih untuk tidak pulang bulan ini agar aku bisa ikut Ibuk ke Jakarta bulan depan.

Juni 2013

Berkali-kali Ibuk meneleponku untuk memastikan apakah aku benar-benar bisa ikut ke Jakarta atau tidak, dan berkali-kali pula aku menjelaskan kepada Ibuk bahwa aku bisa. Aku meyakinkan beliau bahwa tidak masalah jika aku harus bolos kuliah selama satu minggu. Cukup dengan surat izin yang sudah ditandatangani Bulik Suyat, InsyaAllah semuanya bisa diatasi. And the day comes…

4 Juni 2013

Tiket travel ke Jepara sudah kupesan jauh-jauh hari sebelumnya. Aku sengaja memesan tiket pukul 17.00 agar aku masih bisa mengikuti kuliah hari ini. Akan tetapi, rencana tidak sejalan dengan kenyataan. Dari empat mata kuliah, aku hanya mengikuti kelas Applied Linguistics. Aku terpaksa melakukannya karena aku butuh cukup banyak waktu untuk mempersiapkan trip-ku kali ini. Terlebih, ada beberapa masalah yang muncul hari ini. But Alhamdulillah, semuanya bisa kuselesaikan sebelum aku berangkat ke Jepara. Sekitar pukul 23.00 aku dijemput Bapak di depan Polres Jepara.

5 Juni 2013

Belum hilang rasa lelah yang menggelayuti tubuhku, aku dan Ibuk harus mempersiapkan perjalanan kami selanjutnya. Bapak dan Ibuk sudah membeli tiket bus ke Jakarta jauh-jauh hari sebelumnya. Pukul 16.00, aku dan Ibuk ke Jakarta, meninggalkan Bapak di rumah.

6 Juni 2013

Sekitar pukul 06.15 kami sampai di Pasar Rebo. Sesuai permintaan Mas Hari, kakakku, kami pun turun di Pasar Rebo. Kami memasukkan koper dan 2 kardus yang masing-masing berisi kerupuk dan jambu Demak ke dalam bagasi taksi dan taksi tersebut segera meluncur ke rumah Bulik Yanti di Jalan Kenanga, Jakarta Selatan. FYI, aku dan Ibuk ke Jakarta karena Bulik Yanti akan mengadakan tasyakuran putra keduanya, Syanda, sudah dikhitan.

7-8 Juni 2013

Aku dan Ibuk tidak kemana-mana selama di Jakarta. Kami hanya di rumah, membantu persiapan hajatan Bulik Yanti dan Om Sarjiran. Kami tidak bepergian karena selain kami malas bertemu dengan kemacetan Jakarta, kami juga akan tersesat karena tidak ada yang bisa mengantar kami kemanapun. Om Sarjiran dan Mas Hari terlalu sibuk dengan pekerjaannya, Bulik Yanti tengah sibuk dengan segala persiapan untuk acara Ahad besok. Jadilah kami duduk manis saja di rumah.

9 Juni 2013

Orang-orang terlihat ramai memenuhi rumah Bulik Yanti dan Om Sarjiran. Undangan mulai berdatangan sekitar pukul 09.00. Aku dan Ibuk akan pulang ke Jepara hari ini. Pukul 14.00, kami berangkat ke Cijantung untuk menunggu bus. Kami hanya membawa koper dan 1 kardus yang entah isinya apa. Kardus itu sudah dipersiapkan oleh Bulik Yanti dan beliau enggan memberitahukan isinya. Waktu menunjukkan pukul 16.00 dan bus yang akan membawa kami ke Jakarta belum juga menampakkan diri. Sekitar pukul 16.30, bus yang kami tunggu-tunggu akhirnya tiba.

10 Juni 2013

Kami terlambat sampai di Jepara karena macet. Pukul 06.30 kami baru sampai di Jepara. Ketika kami turun, aku meminta kernet bus untuk membuka bagasi. Aku menunjuk koper kami dan mataku segera mencari-cari kardus yang kami bawa. Satu menit, dua menit, tiga menit lewat… Dan…voila! Aku tidak menemukan kardus tersebut. Aku dan Ibuk terus menjelaskan kardus yang kami bawa. Nihil. Kardus kami hilang! Aku pun memutuskan untuk memberikan nomor HP-ku kepada kernet bus agar jika sewaktu-waktu ada yang mau mengembalikan kardus kami, kernet bus tersebut bisa menghubungiku. Sepagi ini, aku pulang dengan rasa bersalah, kecewa, menyesal yang tercampur aduk menjadi satu. Tidak karu-karuan rasanya. Aku merasa aku bodoh sekali. Pasalnya, aku lupa untuk memberi nama pada kardus itu. Aku duduk di sebelah jendela dan setiap kali ada penumpang turun dan membuka bagasi, aku tidak melongok untuk memastikan kardus yang kami bawa tidak diambil orang. Ah, bodohnya aku! 😦

Pukul 16.30 aku diantar Bapak ke perempatan Mantingan. Di sini, aku menunggu travel yang akan membawaku kembali ke Jogja. Aku kembali ke Jogja dengan perasaan bersalah masih menggelayutiku. Maafkan aku…

11 Juni 2013

Selamat pagi, Jogja! Aku sampai di Jogja pukul 23.00 semalam. Sekitar pukul 09.00, agen bus menghubungiku dan memberitahuku bahwa kardus kami benar-benar hilang. Kemungkinan ada orang yang sengaja mengambil kardus kami. Kemungkinan tertukar sangat kecil karena tidak ada kardus lain yang tertinggal di bus ketika semua penumpang sudah turun. Tetapi, Wallahu A’lam. Aku tidak tahu. Aku menghela napas. Astaghfirullah

Ya sudah. Mungkin belum rezeki kami. Ikhlas. Ikhlas. Ikhlas. InsyaAllah akan ada ganti yang lebih baik. Semoga Allah melapangkan hati kami agar kami senantiasa ikhlas menerima kenyataan yang pahit sekalipun.

My 3J trip is over. Jogja-Jepara-Jakarta. Selesai di sini. Aku harus kembali berkutat dengan rutinitasku. Kuliah. Mengerjakan tugas. Belajar. Aku harus segera lulus. Perjalanan kemarin telah memberiku suntikan semangat ketika Om Sarjiran memintaku segera lulus dan melamar pekerjaan di Jakarta saja. Jakarta? Apa iya, aku benar-benar akan menghabiskan waktu di kota itu? Aku tidak tahu. Tetapi sepertinya Ibuk dan Bapak bahagia jika aku bisa bekerja di Jakarta (atau sekitarnya) seperti kakakku yang bekerja di Cikarang. Well, jika itu bisa membahagiakan Ibuk dan Bapak, why not? 😀

The Analysis of Guy de Maupassant’s The Diamond Necklace: A Feminist Approach

1.   Feminist Theory

Social Feminists

2.   Concepts and Terms

a.   Patriarchy

  1. The woman’s surname is usually not used anymore when she gets married. A wife will use her husband’s surname. For instance, the readers of The Diamond Necklace only know Mathilde’s surname as Loisel. It was from her husband, Monsieur Loisel. She was usually called Madame Loisel.
  2. In a family, a man usually works and a woman usually stays at home. In The Diamond Necklace, Monsieur Loisel worked as a little clerk of the Ministry of Public Instruction. On the other hand, Madame Loisel didn’t work.

b.   Gender

Madame Loisel was different from Monsieur Loisel in gender. It could happen since both of them had different socialization process, gender identity, social structure of family, education, and gender-power relationships.

c.   The Person is Political

Madame Loisel was a smart-political woman. She could make Monsieur Loisel gave her four hundred francs to buy her a pretty gown when he actually wanted to use his money to buy a gun and treat himself to a little shooting next summer on the plain of Nanterre. Madame Loisel could also make Madame Forestier lent her a diamond necklace. When it lost, she told her that it was repaired so that she had time to look for the diamond necklace.

d.   Oppression

Madame Loisel wanted to live her life in luxurious but unfortunately she was born as a poor woman. She thought that a beautiful woman like her should be rich. She tried to do anything to come to the party. She wanted to look more beautiful so that she asked her husband to buy a pretty gown and she borrowed a diamond necklace from Madame Forestier.

e.   Important of Values

1)     Mutuality

Madame Forestier helped Madame Loisel by lending her diamond necklace.

2)     Cooperation

Madame Loisel worked to aid Monsieur Loisel in earning money after losing Madame Forestier’s diamond necklace. They helped each other to get much money to return the necklace.

3)     Equality

Both Monsieur and Madame Loisel worked to earn money to return Madame Forestier’s diamond necklace.

4)     Democratic Use of Power

Although Madame Loisel helped Monsieur Loisel in working, she didn’t work as hard as him.

5)     Peace

Monsieur Loisel wasn’t angry to Madame Loisel when she told him that she lost Madame Forestier’s necklace. On the other hand, he looked for it anywhere anytime.

Mbah Yatiman: Belajar Ikhlas dari “Buang Air Besar”

Foto: Vinita. Mbah Yatiman

Foto: Vinita. Mbah Yatiman

Muhammad Yatiman Syafiie (81)—biasa disapa Mbah Yatiman–pernah menjabat sebagai Ketua Cabang dan Ketua Ranting. Berawal dari niat ingin beribadah kepada Allah swt., kakek ini mengaku memiliki pengalaman yang lebih banyak memberinya suka daripada duka.

Lahir dan besar di lingkungan Muhammadiyah, Mbah Yatiman pun tak luput dari peran orang-orang di sekitarnya yang memandunya dari usia belia untuk terlibat dalam kegiatan Muhammadiyah. Kakek kelahiran 17 Juli 1932 ini berproses dari Pemuda Muhammadiyah, Pengurus Ranting Muhammadiyah, Pengurus Cabang Muhammadiyah hingga Pengawas Pendidikan di Kota Kecamatan.

Menyadari usianya tak lagi muda, Mbah Yatiman yang pernah menempuh pendidikan di Akademi Tabligh Muhammadiyah Yogyakarta ini akhirnya memutuskan untuk berhenti dari kepengurusan Muhammadiyah. Namun, karena kepercayaan yang diberikan kepadanya, saat ini beliau menjabat sebagai Penasehat Cabang Muhammadiyah.

Mbah Yatiman berpesan bahwa yang terpenting dan yang paling utama dalam Muhammadiyah adalah pendidikan keikhlasan dalam beramal. Maksudnya adalah beribadah kepada Allah swt., beramal kepada masyarakat, dan lain sebagainya harus dilandasi dengan rasa ikhlas, tidak mengharapkan pamrih, sanjungan, bahkan pujian dari masyarakat. Beliau mengibaratkan sifat ikhlas yang benar seharusnya seperti orang yang tengah buang air besar—manusia tidak perlu mengingat-ingat kebaikan yang telah ia lakukan dan ia berikan kepada orang lain, serta tidak mengharapkan balasan dari orang lain. Selain itu, kesederhanaan juga diperlukan untuk mengimbangi keikhlasan di dalam kehidupan. Falsafah yang dipegang teguh oleh Mbah Yatiman ini terdapat dalam lagu “Sang Surya”, mars Muhammadiyah. (Alin-Vinita)