Cerpen Marlin Dwinastiti
“Bismillaahirrahmaanirraahiim. Ayo, Asti! Semangat!”
Aku duduk bersila di atas karpet merah hati yang telah usang. Di hadapanku, laptop 14 inch siap menemaniku menuangkan ide-ide yang berebutan minta dikeluarkan. Kedua tanganku mengepal di udara. Aku mencoba menyemangati diriku sendiri. Sejurus kemudian, jemari tanganku asyik menari di atas keyboard laptop.
Simbah[1] tengah berzikir sambil menonton acara televisi kesayangannya. Sesekali ia menggerakkan kursi goyang. Di sampingku, Bulik[2] Endang dan Dhani, anak laki-lakinya, sudah terlelap selepas Isya’. Seluruh tubuh keduanya tertutup selimut tebal kecuali wajah. Maklum, rumah Bulik Endang hanya berjarak kurang lebih 9 km dari Gunung Merapi. Malam ini, masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Dingin.
Satu halaman, satu setengah halaman, dua halaman, tiba-tiba jemariku berhenti.
“Aduh! Ayo, Asti! Jangan berhenti! Ayo, ide! Keluar!” kataku sambil menepuk jidat berulang kali.
“Sedang apa, Ti?” tanya Bulik Endang. Matanya mengerjap-ngerjap. Ia jelas terganggu dengan suara nyaringku.
Aku menoleh.
“Ini, Bulik. Asti sedang membuat cerpen. Hadiahnya liburan ke Eropa.”
“Mimpiiiiiiiii!!!” jawab Bulik Endang.
Senyumku memudar. Respon Bulik Endang benar-benar cepat dan tidak terduga.
“Setiap orang boleh bermimpi, kan, Bulik? Kan gratis,” ujarku sembari memaksa bibirku mengulum senyum lagi.
“Boleh, tapi jangan terlalu tinggi! Nanti kecewa!”
Aku mengangguk. Malas berdebat dengan Bulik Endang. Tidak akan pernah ada habisnya jika aku meladeninya.
“Tapi, ya, terserah kamu saja, Ti. Kalau kamu bermimpi setinggi langit, ya, terserah. Kalau gagal, kan, kamu sendiri yang kecewa.”
Aku menghela napas.
Astaghfirullaahal’adziim. Astaghfirullaahal’adziim. Astaghfirullaahal’adziim.
“Kenapa diam saja, Ti?” tanya Bulik Endang.
“Mmm… Maaf, Bulik. Asti sedang konsentrasi,” jawabku singkat.
“Ya sudah. Bulik sebagai pengganti orang tua kamu di sini sudah mengingatkan, ya. Besok-besok kalau kamu gagal terus kecewa jangan salahkan Bulik.”
“Nggih, Bulik. Matur nuwun.[3]”
Kalimat Bulik Endang membuat semangatku padam seketika. Aku menutup laptop, enggan melanjutkan. Rasa malas tiba-tiba menggelayutiku. Bulik Endang sudah memeluk anak semata wayangnya lagi.
* * *
“DHAAANIIIIIIIII!!!”
Aku yang sedang menyapu halaman nyengir. Pagi ini, masih sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Matahari belum juga menampakkan wujudnya tetapi Bulik Endang sudah meneriaki Dhani.
“Bawa saja televisinya ke kamar mandi!” teriaknya lagi.
* * *
Aku bisa bernapas lega sekarang. Dhani sudah berangkat ke sekolah 20 menit yang lalu. Tidak ada lagi teriakan Bulik Endang yang memekakkan telinga. Hanya aku dan Simbah di rumah. Bulik Endang segera ke sawah seusai mengantar Dhani. Ada tetangga yang memerlukan bantuannya untuk menanam padi.
Aku kembali berkutat dengan laptop.
“Pagi-pagi sudah pegang itu, Nduk[4]? Kuwi jenenge opo?[5]” tanya Simbah.
Aku mendongak.
“Laptop, Mbah. Komputer. Asti mau ikut lomba. Hadiahnya liburan ke Eropa, Mbah,” jawabku.
“Eropa ki opo, Nduk[6]?” tanya Simbah lagi.
“Mmm… Eropa itu luar negeri, Mbah,” jawabku seadanya. Aku bingung bagaimana harus menjelaskannya.
“Bongso walondo, Nduk[7]?”
“Nggih, Mbah. Doain Asti nggih, Mbah.”
“Iya, Nduk. Mugo-mugo Gusti Allah maringi gampang.[8]”
“Amin. Matur nuwun, Mbah.”
* * *
“Alhamdulillaah…”
“Hei, itu, kan, minumanku!” protes Rara, sahabat karibku.
“Maaf, Ra. Panas banget. Dari jauh es jerukmu melambai-lambai minta diminum.”
“Dasar! Dari mana?”
“Dari rumah. Kamu sudah lama di sini?”
“Lumayan.”
Aku mengedarkan pandangan. Siang ini, kantin kampus tampak lengang. Hanya terlihat beberapa mahasiswa yang tengah menikmati hidangan yang tersaji di hadapannya.
“Ra, coba baca cerpenku,” pintaku pada Rara.
“Mana?”
Aku menyodorkan laptop. Lima belas menit berlalu…
“Kurang, Ti.”
“Apanya yang kurang?”
“Banyak.”
Aku menghela napas. Kedua telingaku terasa panas mendengar kritiknya yang pedas.
“Cerpen ini untuk apa, Ti? Lomba lagi?” tanyanya kemudian.
“Iya, Ra. Hadiahnya liburan ke Eropa,” jawabku dengan antusias.
“Huahahahaha, ke Eropa dengan menulis cerpen? Mana mungkin?”
Aku dan Rara mencari-cari sumber suara. Via berdiri tak jauh dari meja kami.
“Memangnya kenapa, Vi? Ada masalah?” tanya Rara.
“Asti! Realistis sedikit dong! Sudah berapa banyak lomba cerpen yang kamu ikuti? Mulai dari yang hadiahnya hanya voucher pulsa, antologi buku, uang tunai, sampai liburan ke luar kota saja kamu tidak pernah menang! Apalagi hadiahnya liburan ke Eropa! Mimpiiiiiiiii!!!”
Aku terdiam. Rara sudah siap membalas, namun cubitanku yang mendarat di lengan kirinya membuat ia mengurungkan niatnya. Via tampak puas. Senyum sinis tersungging di bibirnya.
* * *
“Ucapan Via tadi ada benarnya, Ra,” kataku saat kami meninggalkan kantin.
“Jangan bilang kamu akan menyerah, Ti. Kamu tidak akan melakukannya, kan?”
Aku menggeleng.
“Aku tidak tahu, Ra. Kamu tahu, kan, aku sudah beberapa kali ikut lomba cerpen tetapi tak satupun menang. Jangan-jangan aku memang tidak ditakdirkan untuk menjadi penulis.”
“Ti, aku tahu kamu suka menulis. Aku tahu passion kamu di sana. Dan, aku tahu persis kamu sangat ingin ke Prancis, kan? Kamu ingin melihat Menara Eiffel. Sekarang kamu akan menyerah hanya karena ucapan Via?”
“Bukan hanya Via, Ra.”
“Siapa lagi?”
“Bulik Endang.”
“Oke-oke! Dua orang itu mungkin sudah meragukan kemampuanmu, tetapi apa kamu akan membiarkan mereka tertawa senang karena kamu gagal? Kalau bulikmu, aku tidak tahu apa alasan beliau meremehkanmu. Tetapi, kalau Via yang meremehkanmu, dari dulu, kan, Via sirik karena IP kita lebih tinggi dari IP-nya.”
Rara benar. Aku tidak ingin Bulik Endang dan Via menertawakan kegagalanku. Semangatku kembali membara. Tiba-tiba aku teringat tenggat waktu yang diberikan panitia lomba. Masih dua minggu lagi. Aku masih memiliki waktu untuk memperbaikinya.
* * *
“Bismillahirrahmaanirrahiim.”
Aku meng-klik tombol Send.
“Ya Allah, aku sudah memaksimalkan usahaku. Kini, aku mohon bantuan-Mu, Ya Rabb. Mudahkanlah urusanku. Wujudkanlah impianku. Semoga Engkau berkenan memberiku kabar gembira satu bulan lagi. Amin.”
* * *
Berulang kali aku mengucek kedua mataku. Aku nyaris meragukan penglihatanku.
“Ra…” panggilku.
“Hmmm…” Rara tidak bergeming.
“Aku tidak sedang bermimpi, kan, Ra?”
“Tentu saja tidak!” sahut Rara cepat.
“Bisa cubit pipiku?” tanyaku.
“Dengan senang hati!” katanya sambil tertawa.
“Aduh! Sakit! Sudah! Aduh! Sudah!”
“Ada apa sih, Ti?” tanyanya. Penasaran, ia mengambil alih laptopku.
Mata Rara terbelalak, dan ia seketika berteriak, “Astiiiiiiiii!!! Eiffel, Ti! Eiffel! Impianmu terwujud!”
“Alhamdulillahirabbil’alamiin…”
Aku memeluk Rara dan berbisik, “Terima kasih, Ra. Terima kasih.”
* * *
Mataku berkaca-kaca. Di hadapanku kini menjulang icon kota Paris yang terkenal di seluruh dunia, Menara Eiffel. Aku meninggalkan kata-kata yang menyakitkan dan meremehkanku di sana, di kota yang berjarak ribuan kilometer jauhnya dari tempatku berdiri sekarang.
Aku merentangkan tanganku. Aku ingin berlari. Melawan angin yang berhembus kencang di Paris. Berlari sekencang-kencangnya.
“EIFFEEEEEEEEELLL, AKU DATAAAAAAAAANNNGGG!”
* * *